Jelang maghrib kami beranjak
meninggalkan Arafah. Bukan iring-iringan yang pertama, namun tergolong awal.
Matahari masih terlihat penuh meski mulai tergelincir di ufuk barat. Jalanan
belum padat. Bus terus merangkak dengan kecepatan standar menuju Muzdalifah.
Jika perjalanan lancar, sekitar Maghrib kami sampai di sana.
Benar saja, saat bus berhenti,
kami melihat hamparan gurun nan luas, sayup-sayup terdengan kumandang adzan
maghrib. Inilah Muzdalifah, guman saya dengan penuh kekaguman. Padang yang luas
seolah tak berbatas. Ribuan lampu menyala di sana-sini. Kami harus bermalam di
sini. Beratapkan langit, beralaskan permukaan bumi. Ya, kami harus berkemah
tanpa tenda di sini.
Begitu bus berhenti, kami
bergegas mencari tempat yang nyaman. Beberapa lokasi ada yang dihamparkan
karpet, lebih banyak lagi lainnya cuma beralaskan aspal. Kami memilih lokasi
yang dekat dengan jalan raya arah menuju Mina. Harapannya, ketika esok dini
hari kami harus menuju Mina aksesnya lebih mudah.
Setelah menjalankan shalat
maghrib dan isya, selanjutnya kami harus mengumpulkan batu kerikil. Suasana
saat itu sungguh-sungguh mengesankan. Jutaan orang dari berbagai belahan dunia
berkumpul. Tidur dalam satu area, memandangi langit yang sama diantara lantunan
doa. Syahdu sekali rasanya.
Ketua rombongan dan ketua regu
berkali-kali mengingatkan agar kami segera istirahat karena harus bangun dini
hari untuk menuju Mina. Kami mengatur waktu dan hemat tenaga. Sekitar pukul
sembilan waktu Arab Saudi kami berusaha segera tidur. Diantara jama’ah yang
terus berdatangan kami berusaha untuk benar-benar tidur.
Senyatanya, tidur sambil
memandangi langit dengan jutaan bintang tidaklah mudah. Tiba-tiba saja segera
berseliweran berbagai rasa. Timbul rasa teramat kecil diantara makhluk ciptaan
Allah. Muncul rasa betapapun besar kekuasaan kita di dunia, di tempat ini harus
rela tidur beralaskan aspal atau bahkan tanah. Tiba-tiba kami merasa apa yang
kami miliki di dunia, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan dan
kekuasaan Allah. Lalu kami kemudian merasa bahwa selama ini demikian angkuh dan
sombong dalam menjalani kehidupan, karena berperan seolah sebagai sosok yang
paling hebat.
Tiba-tiba kami terjerembab dalam
kesadaran bahwa nikmat dan karinia Allah demikian besar. Ia tak pernah
menghukum makhluknya sekalipun ia lalai. Ia selalu menyediakan ampunan ketika
makhluknya melakukan kesalahan dan berbuat dosa. Dalam kesadaran itu, tiba-tiba
tak terasa air mata meleleh membasahi pipi.
Malam ini…di Muzdalifah, jauh
berbeda dengan malam-malam tahun-tahun sebelumnya. Allah menguji ummatnya
dengan Covid-19. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada ummat manusia bukan
dengan bencana dahsyat seperti tsunami, gempa atau badai. Ia justru menunjukkan
kebersaran-Nya dengan menciptakan mahkluk yang amat kecil yang tak terlihat
namun dampaknya terasa nyata bagi ummat seluruh dunia. Pandemi Korona
(Covid-19) menyebabkan ibadah haji dibatasi. Jama’ah calon haji dari Indonesia
dan banyak negara lainnya ditunda pelaksanaan. Muzdalifah yang biasanya pada
malam seperti saat ini penuh sesak dengan jutaan manusia, kini lengang.