Lihat Cepat

Senin, 08 Maret 2010

PERCIKAN HATI

HIDUP ITU PENUH PERJUANGAN
Bulan ini adalah masa-masa penuh keprihatinan bagi para siswa, khususnya kelas XII. Betapa tidak, pada minggu terakhir bulan Maret ini mereka harus berjuang keras untuk dapat lolos dari lubang jarum yang bernama UN alias ujian nasional. Meski pro dan kontra tentang UN terus bergulir, suka tidak suka, mau tidak mau, yang namanya ujian mesti harus dilakoni jika ingin menjadi manusia yang kualitasnya lebih baik dari hari kemarin.
Yang harus menjadi catatan sesungguhnya bukan sekedar hasil (lulus atau tidak lulus dalam UN), namun lebih pada bagaimana proses ‘lulus ujian’ itu dilalui. Jika kita menitikberatkan pada ‘hasil’, maka bisa saja kita menghalalkan segala macam cara demi predikat ’lulus’ itu. Akibatnya outputnya pun tak memiliki kualitas yang handal. Namun jika kita menghargai proses, bukan tak mungkin yang kita peroleh lebih dari sekedar lulus ujian. Sebab mereka akan menjadi manusia yang berkepribadian dan berkarakter, serta menghargai proses.
Sayangnya, tak banyak siswa yang memiliki kesadaran ini. Pada umumnya mereka mau enaknya sendiri. Kebanyakan siswa malas belajar namun ingin mendapat nilai bagus dan lulus. Program uji coba ujian nasional yang diselenggarakan oleh sekolah maupun pemerintah dengan biaya yang besar tidak ditanggapi secara serius. Sehingga bukan hal aneh jika siswa mengerjakan soal secara cepat, asal selesai, bahkan “menikmati tidur siang” disaat pengawas berusaha keras menahan kantuknya. Siswa tipe ini, kalaupun nantinya lulus UN biasanya tak mengenal rasa syukur.
Kita harus acungi jempol kepada para siswa yang tetap gigih untuk berjuang agar dapat lulus UN. Kita harus senantiasa menamkan pada siswa bahwa pada akhirnya nanti, mereka yang gigih berjuanglah yang akan memetik madu keberhasilan. Mungkin sekali saat pengumuman kelulusan,-dan ini menjadi harapan kita bersama-, baik yang rajin maupun yang malas akan lulus UN, namun ketika mereka kemudian dihadapkan pada kehidupan yang sesungguhnya di masyarakat atau di dunia kerja, maka akan terlihat nyata perbedaan kualitas diantara keduanya. Kenyataan akan membuktikan bahwa manusia yang mampu menjalani proses dengan gigih akan lebih berhasil dibandingkan mereka yang memiliki mental menerabas dan cari enaknya sendiri.
Untuk itulah, mari kita tumbuhkan kesadaran pada diri kita sendiri untuk selalu gigih dalam memperjuangkan cita-cita. Betapapun beratnya, sebuah proses harus diikuti dengan tabah. Kita dapat belajar dari proses terjadinya kupu-kupu. Untuk bisa menjadi kupu-kupu yang indah dan memikat, ia harus menjalani proses yang begitu berat. Ia mulai kehidupan sebagai ulat dengan makanan dedaunan. Pada proses selanjutnya ia harus menjalani’karantina’ dalam kepompong dan berpuasa. Akhirnya ia akan lahir menjadi kupu-kupu yang indah, makanannya tak lagi daun melainkan madu.
Dengan menganalogikan proses terjadinya kupu-kupu, maka sebenarnya para siswa sedang berada dalam ‘karantina kepompong’ yang bernama ‘sekolah’. Jika ia dapat bertahan mengikuti aturan main di sekolah, serta berpuasa dalam arti menahan diri untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, maka sesungguhnya lulus UN dan ujian-ujian lain di sekolah ini bukanlah perkara susah.
Kini saatnya kita saling introspeksi. Jika kita selalu menjalani setiap proses pembelajaran dengan baik, maka akhir tahun pembelajaran ini tak perlu khawatir, sebab kata ‘lulus’ itu demikian dekatnya dengan kita. Namun, jika selama ini kita mengabaikan proses pembelajaran yang berlangsung, maka beberapa hari terakhir ini kita sungguh-sungguh harus bekerja keras untuk meraih sebuah kata yang amat kita inginkan yaitu : l u l u s!(pgm’10)