Lihat Cepat

Kamis, 16 April 2009

IRONI

Reorientasi Pembelajaran di SMA, atau Alih Status?!
Oleh : Gami Sukarjo
Bulan April 2009, bangsa Indonesia menyelenggarakan dua perhelatan besar yang menyangkut nasib bangsa. Pertama adalah pelaksanaan pemilu legislatif. Kedua adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMA/SMK. Kedua momen itu sama-sama menelan biaya milyaran rupiah. Keduanya juga sama-sama merupakan ‘medan perang’ yang akan menguji kualitas bangsa Indonesia, baik sebagai pemilih maupun sebagai caleg (dalam pemilu legislatif), dan sebagai siswa maupun sebagai guru (dalam UN).
Di tengah hiruk pikuk upaya berbagai pengurus partai dan caleg melakukan kampanye untuk merebut suara masyarakat, ada baiknya kita tengok saudara-saudara kita yang di Sekolah Menengah Atas (SMA). Dua bulan terakhir ini bisa dikatakan sebagai masa-masa krusial yang amat menentukan nasib siswa, guru, kepala sekolah maupun sekolah itu sendiri. Meski pemerintah berulang kali menegaskan bahwa UN hanyalah sebagian dari syarat penentu kelulusan siswa, toh realitasnya kegagalan siswa dalam menempuh UN merupakan faktor utama penyebab siswa tidak lulus.
Katakanlah sekolah dapat meluluskan 100% siswanya dalam ujian, mereka dihadang persoalan baru berkaitan dengan warning dari pemerintah. Bagi SMA yang tidak mampu mengantarkan lulusannya masuk ke jenjang perguruan tinggi di atas 50% sebaiknya di-SMK-kan saja. Sebab, konon SMA adalah penyumbang terbesar pengangguran di negeri ini. Tak mengherankan jika pemerintah menggebu-gebu mengampanyekan SMK, dan menganggap seolah-olah SMA sebagai benda usang yang tak menarik lagi.
Pendek kata, guru-guru di SMA ibarat makan buah simalakama. Meminjam istilahnya Warkop, maju kena, mundur pun kena. Mengejar target lulus 100% saja sudah berat, masih terbebani dengan target lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Yang menyedihkan, kedua target tersebut harus dicapai dengan cara yang berbeda dan tidak seiring sejalan. Sebab nilai UN tidak diperhitungkan dalam seleksi PMB. Sementara itu materi seleksi PMB tidak sinkron dengan SKL UN.
Untuk itu, guru harus berfikir pragmatis dengan melakukan reorientasi pembelajaran di SMA. Jika target utama lulusan adalah melanjutkan ke perguruan tinggi maka seharusnya guru lebih menekankan pada pemberian materi untuk seleksi PMB. Sedangkan nilai UN sebatas memenuhi standar kelulusan saja. Dengan kata lain, biarlah nilai UN yang diperoleh siswa pas-pasan atau sekedar memenuhi syarat kelulusan. Abaikan keinginan untuk mendapatkan predikat peringkat tertinggi untuk nilai UN. Sebab predikat itu tidak bermakna manakala persentase lulusan sekolah tersebut yang melanjutkan ke PT hanya sedikit. Stempel sebagai institusi yang gagal mengemban tujuan pendidikan menengah pun akan diterakan. Memang pemikiran seperti ini jadi kontraproduktif dengan tujuan besar UN itu sendiri, di mana pemerintah berkehendak untuk memetakan kualitas pendidikan melalui UN. Untuk itulah pemerintah harusnya lebih bijaksana menyikapi persoalan yang timbul di sekolah menengah atas.
Guru juga harus berfikir realistis. Target mendongkrak jumlah lulusan yang melanjutkan ke PT harus dibarengi dengan pemetaan kondisi dan keinginan siswa sejak dini. Harus disadari bersama bahwa realitas siswa SMA di pinggiran maupun pelosok desa sebagian besar dari keluarga tidak mampu, namun bukan berarti mereka kehilangan hak untuk mengenyam pendidikan tinggi. Kita seharusnya mendorong mereka untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui peningkatan kualitas pendidikan.
Sedikitnya ada tiga kelompok kepentingan siswa di SMA. Kelompok pertama adalah kelompok siswa yang mempunyai kemampuan finasial dan berminat langsung melanjutkan ke PT. Kelompok kedua adalah kelompok siswa yang ingin bekerja dahulu lalu melanjutkan kuliah, dan kelompok ketiga adalah lulusan yang akan menikah dahulu, lalu melanjutkan ke PT. Masing-masing kelompok membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Dibutuhkan kreativitas dari guru dan pengelola sekolah agar kepentingan ketiga kelompok itu dapat terakomodasi. Beberapa sekolah memberikan bekal sertifikasi nasional keterampilan bagi siswa atau memberikan bekal keterampilan berwirausaha. Harapannya lulusan SMA tidak menjadi kambing hitam atas meledaknya jumlah pengangguran dan pada gilirannya persentase lulusan yang melanjutkan ke PT pun meningkat.
Masih ada waktu bagi para guru SMA untuk melakukan terobosan agar target kelulusan 100% dicapai dan lulusan yang melanjutkan ke PT pun meningkat. Dengan demikian guru dan siswa tak perlu repot-repot alih status dari SMA ke SMK. Namun keberanian guru untuk melakukan reorientasi pembelajaran di SMA tak banyak berarti tanpa dukungan kepala sekolah, dewan sekolah/dewan pendidikan dan dinas pendidikan setempat. Sebab guru hanyalah aktor yang memainkan peran sesuai dengan skenario yang ditulis oleh sang sutradara berdasarkan grand design yang telah direncanakan oleh pemerintah (kabupaten/kota).