Lihat Cepat

Selasa, 08 Desember 2009

MENGGAGAS UNAS SEBAGAI SEBUAH PILIHAN(SEBUAH GAGASAN LAMA)

Oleh : Drs Gami Sukarjo, M.Pd

Pro kontra pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) hampir selalu terjadi pada tiap pertengahan tahun pembelajaran. Tahun ini perdebatan itu semakin seru dengan ditolaknya kasasi yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional oleh MA. Artinya Depdiknas tidak boleh lagi menyelenggarakan Unas.
Penolakan kasasi oleh MA ini tentu saja disambut suka cita oleh mereka yang menolak pelaksanaan Unas. Sebaliknya, putusan MA juga ditanggapi dengan keprihatinan oleh mereka yang menilai bahwa Unas harus terus dilaksanakan. Sebab dibalik kekurangannya, Unas tetap mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Uniknya, kedua pihak memiliki argumen yang sama-sama kuat untuk menolak atau menyetujui pelaksanaan Unas. Tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu pihak, namun memberikan alternatif solusi bagaimana seharusnya menyikapi pelaksanaan Unas.
Sebagai seorang pendidik, penulis sangat setuju bahwa ujian merupakan terminal akhir untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Tak dapat dipungkiri pula bahwa ujian nasional dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional. Namun senyatanya tidak semua peserta didik dapat memetik manfaat secara langsung dari pelaksanaan Unas. Menggunakan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang ditempuhnya, justru menimbulkan gejolak di masyarakat khususnya orang tua maupun peserta didik yang dinyatakan tidak lulus.
Berdasarkan hal itulah penulis menggagas Unas sebagai sebuah pilihan bagi peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik boleh memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Kedua pilihan itu mempunyai resiko dan konsekuensi yang berbeda, baik bagi peserta didik sendiri, satuan pendidikan, maupun institusi di atasnya.
Menawarkan Unas sebagai sebuah pilihan sesungguhnya bukan hal yang baru. Jika menengok saudara-saudara kita yang berada di lembaga-lembaga pendidikan keterampilan (kursus) di bawah naungan Pendidikan Non Formal (dulu PLS) telah menjadikan Unas sebagai sebuah pilihan. Jika warga belajar (baca: peserta didik) menghendaki keterampilannya diakui secara nasional, maka wajib baginya lulus ujian nasional (kini disebut sertifikasi kompetensi). Jika pengakuan secara nasional dianggap tidak signifikan dengan jenis pekerjaan atau jenjang pendidikan lanjutan yang akan ditempuh, maka warga belajar tak perlu repot-repot mengikuti Ujian Sertifikasi Kompetensi atau Ujian Nasional.
Dengan menganalogikan model ujian yang dilakukan oleh PNF, maka peserta didik dapat memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Hal ini sebenarnya sejalan dengan Permendiknas No. 75 tahun 2009 Tentang Ujian Nasional, khususnya Pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa mengikuti Unas adalah hak peserta didik. Jadi ikut Unas atau tidak merupakan hak. Bukan merupakan kewajiban bagi peserta didik! Unas menjadi wajib bagi peserta didik karena para pengambil kebijakan menetapkan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan.
Jika kita mengacu pada Pasal 3 (c) dinyatakan bahwa hasil Unas merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Diperjelas dengan Pasal 20 ayat 1 yang menyatakan dengan gamblang bahwa hasil Unas hanya untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menemuh Unas itu sendiri dan bukan kelulusan peserta didik pada satuan pendidikan yang ditempuhnya. Perhatikan kutipan Pasal 20 ayat 1 berikut: Peserta UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya; b) khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Harus diakui bahwa menetapkan Unas sebagai sebuah pilihan cenderung akan ditinggalkan oleh peserta didik. Sehingga boleh jadi pemerintah akan semakin kesulitan meningkatkan serta memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Saat itulah institusi pendidikan seperti sekolah/perguruan tinggi dan dinas pendidikan membuat regulasi agar peserta didik tetap termotivasi untuk mengikuti Unas.
Beberapa kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya, Pertama, sistem seleksi penerimaan peserta didik baru di jenjang SMP, SMA/K, (termasuk Perguruan Tinggi) menggunakan nilai Unas. Sistem pemeringkatan mengacu pada dua hal yaitu memenuhi kriteria kelulusan Unas serta peringkat nilai calon peserta didik yang mendaftar. Proses seleksi yang demikian akan mendorong peserta didik memilih mengikuti Unas. Peserta didik yang tidak mengikuti Unas akan mengalami kendala dalam melanjutkan studi. Dengan demikian peserta didik akan merasakan bahwa Unas merupakan kebutuhan dan bukan lagi sebagai beban.
Kedua, pemeringkatan kualitas sekolah berdasarkan prosentase peserta didik yang berhasil menempuh Unas serta rata-rata kenaikan nilai Unas peserta didik pada sekolah tersebut. Selama ini pemeringkatan kualitas sekolah ditentukan oleh rata-rata nilai Unas yang dihasilkan oleh peserta didik pada satuan pendidikan tanpa memperhatikan perbedaan inputnya. Sehingga dapat ditebak peringkat kualitas sekolah hanya berkisar pada sekolah-sekolah favorit yang secara faktual inputnya lebih bagus. Model penentuan peringkat sekolah yang demikian menisbikan kegigihan usaha peserta didik, guru, maupun kepala sekolah terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya.
Ketiga, Pembinaan dan pemberian bantuan dana BOS/grant hanya ditujukan pada sekolah-sekolah yang secara nyata mampu mendorong peserta didiknya untuk mengikuti Unas. Selama ini dana BOS diberikan pada seluruh peserta didik sehingga dinilai pemborosan dan kurang mendidik masyarakat untuk lebih menghargai pendidikan, serta melemahkan semangat belajar siswa.
Keempat, penentuan kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah berdasarkan rata-rata nilai raport yang digabung dengan nilai ujian sekolah/nasional. Cara penentuan kelulusan seperti ini memang rentan manipulasi. Namun jika institusi pendidikan konsisten untuk tetap menggunakan syarat lulus Unas serta pemeringkatan nilai Unas dalam seleksi penerimaan peserta didik baru, besar kemungkinan praktik pengatrolan nilai sebagaimana yang pernah terjadi hanya akan bermakna bagi peserta didik yang tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Jadi, ada baiknya peserta didik dan masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih mengikuti Unas atau tidak. Jika Unas telah menjadi pilihannya, maka siswa akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi Unas, termasuk mempersiapkan mental jika ternyata dinyatakan tidak lulus Unas. Dengan demikian, rasanya tahun-tahun mendatang tak akan terdengar lagi teriakan histeris dari siswa yang tidak lulus yang menyatakan ”tiga tahun belajar hapus oleh tiga hari ujian nasional” Semoga!

Kamis, 16 April 2009

IRONI

Reorientasi Pembelajaran di SMA, atau Alih Status?!
Oleh : Gami Sukarjo
Bulan April 2009, bangsa Indonesia menyelenggarakan dua perhelatan besar yang menyangkut nasib bangsa. Pertama adalah pelaksanaan pemilu legislatif. Kedua adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMA/SMK. Kedua momen itu sama-sama menelan biaya milyaran rupiah. Keduanya juga sama-sama merupakan ‘medan perang’ yang akan menguji kualitas bangsa Indonesia, baik sebagai pemilih maupun sebagai caleg (dalam pemilu legislatif), dan sebagai siswa maupun sebagai guru (dalam UN).
Di tengah hiruk pikuk upaya berbagai pengurus partai dan caleg melakukan kampanye untuk merebut suara masyarakat, ada baiknya kita tengok saudara-saudara kita yang di Sekolah Menengah Atas (SMA). Dua bulan terakhir ini bisa dikatakan sebagai masa-masa krusial yang amat menentukan nasib siswa, guru, kepala sekolah maupun sekolah itu sendiri. Meski pemerintah berulang kali menegaskan bahwa UN hanyalah sebagian dari syarat penentu kelulusan siswa, toh realitasnya kegagalan siswa dalam menempuh UN merupakan faktor utama penyebab siswa tidak lulus.
Katakanlah sekolah dapat meluluskan 100% siswanya dalam ujian, mereka dihadang persoalan baru berkaitan dengan warning dari pemerintah. Bagi SMA yang tidak mampu mengantarkan lulusannya masuk ke jenjang perguruan tinggi di atas 50% sebaiknya di-SMK-kan saja. Sebab, konon SMA adalah penyumbang terbesar pengangguran di negeri ini. Tak mengherankan jika pemerintah menggebu-gebu mengampanyekan SMK, dan menganggap seolah-olah SMA sebagai benda usang yang tak menarik lagi.
Pendek kata, guru-guru di SMA ibarat makan buah simalakama. Meminjam istilahnya Warkop, maju kena, mundur pun kena. Mengejar target lulus 100% saja sudah berat, masih terbebani dengan target lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Yang menyedihkan, kedua target tersebut harus dicapai dengan cara yang berbeda dan tidak seiring sejalan. Sebab nilai UN tidak diperhitungkan dalam seleksi PMB. Sementara itu materi seleksi PMB tidak sinkron dengan SKL UN.
Untuk itu, guru harus berfikir pragmatis dengan melakukan reorientasi pembelajaran di SMA. Jika target utama lulusan adalah melanjutkan ke perguruan tinggi maka seharusnya guru lebih menekankan pada pemberian materi untuk seleksi PMB. Sedangkan nilai UN sebatas memenuhi standar kelulusan saja. Dengan kata lain, biarlah nilai UN yang diperoleh siswa pas-pasan atau sekedar memenuhi syarat kelulusan. Abaikan keinginan untuk mendapatkan predikat peringkat tertinggi untuk nilai UN. Sebab predikat itu tidak bermakna manakala persentase lulusan sekolah tersebut yang melanjutkan ke PT hanya sedikit. Stempel sebagai institusi yang gagal mengemban tujuan pendidikan menengah pun akan diterakan. Memang pemikiran seperti ini jadi kontraproduktif dengan tujuan besar UN itu sendiri, di mana pemerintah berkehendak untuk memetakan kualitas pendidikan melalui UN. Untuk itulah pemerintah harusnya lebih bijaksana menyikapi persoalan yang timbul di sekolah menengah atas.
Guru juga harus berfikir realistis. Target mendongkrak jumlah lulusan yang melanjutkan ke PT harus dibarengi dengan pemetaan kondisi dan keinginan siswa sejak dini. Harus disadari bersama bahwa realitas siswa SMA di pinggiran maupun pelosok desa sebagian besar dari keluarga tidak mampu, namun bukan berarti mereka kehilangan hak untuk mengenyam pendidikan tinggi. Kita seharusnya mendorong mereka untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui peningkatan kualitas pendidikan.
Sedikitnya ada tiga kelompok kepentingan siswa di SMA. Kelompok pertama adalah kelompok siswa yang mempunyai kemampuan finasial dan berminat langsung melanjutkan ke PT. Kelompok kedua adalah kelompok siswa yang ingin bekerja dahulu lalu melanjutkan kuliah, dan kelompok ketiga adalah lulusan yang akan menikah dahulu, lalu melanjutkan ke PT. Masing-masing kelompok membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Dibutuhkan kreativitas dari guru dan pengelola sekolah agar kepentingan ketiga kelompok itu dapat terakomodasi. Beberapa sekolah memberikan bekal sertifikasi nasional keterampilan bagi siswa atau memberikan bekal keterampilan berwirausaha. Harapannya lulusan SMA tidak menjadi kambing hitam atas meledaknya jumlah pengangguran dan pada gilirannya persentase lulusan yang melanjutkan ke PT pun meningkat.
Masih ada waktu bagi para guru SMA untuk melakukan terobosan agar target kelulusan 100% dicapai dan lulusan yang melanjutkan ke PT pun meningkat. Dengan demikian guru dan siswa tak perlu repot-repot alih status dari SMA ke SMK. Namun keberanian guru untuk melakukan reorientasi pembelajaran di SMA tak banyak berarti tanpa dukungan kepala sekolah, dewan sekolah/dewan pendidikan dan dinas pendidikan setempat. Sebab guru hanyalah aktor yang memainkan peran sesuai dengan skenario yang ditulis oleh sang sutradara berdasarkan grand design yang telah direncanakan oleh pemerintah (kabupaten/kota).






Kamis, 26 Maret 2009

in-TIPS

Gunakan Trik Biar Sukses UN

UN atau ujian nasional tinggal menghitung hari. Tapi, yakin kamu udah siap? Masih berapa banyak materi yang belum kamu baca? satu dua bab/ SKL atau malah satu dua buku? Gimana kamu bisa lulus jika hari gini masih ada buku yang untouchable?!
By the way, untuk sebuah kesuksesan maka kerja keras itu wajib hukumnya. Klo kamu merasa udah cuaaaapek belajar, sampe nggak doyan makan dan yang terbayang di otak hanyalah rumus-rumus fisika /kimia/matematika atau ilmu apapun sesuai jurusanmu. Itu baru namanya kerja keras. Tp klo kamu masih bisa leha-leha, dan belajar 2 jam per hari sesumbar udah kerja keras, itu pertanda....
Trus...optimalkan waktu. AKu kadang sedih ngeliat kalian sudah loyo pada satu jam pertama ngerjakan soal. Lha yang satu jam lagi buat apa? Nunggu sumbangan jawaban dari teman? Nunggu jawaban turun dari langit(langit)? Kalian boleh mencontoh pemain Chelsea atau Liverpool, dimana mereka selalu menggunakan waktu secara optimal sampai detik (sekali lagi; sampai detik) terakhir hingga peluit dibunyikan. Siapa tahu, di detik-detik terakhir itulah barokah atas kerja kerasmu selama ini dibalas oleh Allah SWT.
Selanjutnya, kerjakan semua soal. Jangan sampe ada yang kelewatan. Gunakan berbagai cara berfikir, dari model logika, analogi, maupun perbandingan.
Terakhir, jangan takut atau nervous hanya karena di situ ada pengawas. Memang tampang mereka kadang nggak ramah. Tapi mereka memang ditugaskan negara untuk menjaga agar kegiatan UN berjalan lancar. Jadi hargai mereka juga. Yg jelas, sepanjang kalian nggak banyak tingkah, mereka akan menjadi sahabat kita kok.
Ok. Selamat menikmati UN SMA. Semoga ini adalah UN terakhir kalian (artinya besok nggak lagi ujian SMA). AMin

Jumat, 02 Januari 2009

Tahun Baru, Semangat Baru, Konsep Baru, Apa Iya?

Tahun baru 2010 akan segera tiba. Kadang-kadang orang terpukau menyambut datangnya detik-detik di awal tahun. Kadang-kadang karenanya mereka nggak mau tidur sampai pukul 00.00. Aku sih, memilih berselancar di dunia "maya" alias tidur sesuai jadwal tidurku.
Kenapa?
Ya simple aja. Di tahun baru...yang penting itu nunggu pukul nol-nolnya atau lahirnya 'ideologi', semangat, dan konsep baru dalam menapaki kehidupan?! Kalau aku sih lebih memilih yang 'kedua'. Nggak ada istimewanya pukul nol-nol di pergantian tahun. Paling-paling : macet di jalanan, bising, dan capek. Mending kalau nggak ada 'trouble' di jalan seperti : accident, ban bocor, atau malah kecopetan... Nah?!
Jadi, bagiku tahun baru kalaupun itu dianggap sebagai momentum, yah...mestinya yang orientasinya pada peningkatan kualitas kehidupan kita (?, caelaaaaah).
Kalau dikaitkan dengan profesi kita sebagai guru (kalau kebetulan anda bukan guru, sorry deh), ya...bagaimana trik-trik kita membuat siswa kita pada UN 2010 nanti bisa lolos semua dari jaring-jaring 'maut'.
Kalau konsepku sih sederhana. Begini !
1. Tanamkan pada siswa bahwa ujian harus dihadapi dengan muka tegak dan nggak perlu nervous. Bukankah ketika ujian tiba, itu berarti kita akan naik tingkat. Jadi mestinya kita justru menyambut ujian akhir dengan segala suka cita. Aku paling nggak suka jika orang-orang memandang UN sebagai seremoni yang sakral. Bupati bingung. Kadinas PK bingung, guru bingung. Ortu siswa bingung. Siswa? super bingung dan kalut. Dalam kondisi seperti ini nggak akan bisa berfikir secara cemerlang. So...mestinya kita colling down aja. Tenang nak...senyum nak, ujian akan menyambut kedewasaan kalian, begitulah...
2. Mintalah siswa untuk melakukan analisis SWOT terhadap dirinya sendiri berdasarkan hasil tes uji coba. Kita nggak perlu pasang target nilai terlalu tinggi. Kita hanya perlu target nilai lulus (dengan nilai minimum sekalipun). Jika batas kelulusan itu 4,50 ya nggak perlulah kita memaksa-maksa siswa agar dapat nilai 9 atau 10. Pastilah setiap dari 4 mapel yang diujikan ada yang telah memperoleh nilai lulus dan ada yang belum. Nah, mapel yang belum mencapai nilai lulus harus digenjot hingga mencapai nilai lulus. Sekali lagi, nggak perlu ngoyo, asal lulus saja, waton lulus! Lha wong di 'sono'-nya nanti (maksudku di SPMB / UMPT) nilai UN nggak diperhitungkan. Di dunia kerja juga nggak ditanya-tanya. Apalagi di KUA nanti...?!
Maaf, anda keliru jika menilai aku nggak concern terhadap kualitas pendidikan. Bagiku, kualitas pendidikan tidak diukur dari hasil UN. Kualitas pendidikan itu dihasilkan dari 3 tahun pendidikan di sekolah itu yang dikelola dengan sungguh-sungguh dan tidak bisa diukur 'hanya' dengan 50 butir soal pilihan ganda dengan waktu 2 jam. Kualitas itu menyangkut aspek kognitif, psikomotorik, afektif dan juga spiritual. Coba aja amati hasil UN secara nasional. Tidak satupun sekolah yang secara kontinyu memiliki prestasi UN yang tinggi. Bahkan, seringkali sekolah-sekolah yang tidak diperhitungkan sama sekali, tiba-tiba muncul sebagi sekolah dengan nilai UN terbaik se Indonesia. Nggak perlu kaget. Itu adalah konsekuensi dari model ujian pilihan ganda, di mana kecerdasan peserta tes berpeluang sama dengan 'keberuntungan' peserta tes. Dan naifnya nih.... peserta tes yang tidak lulus menjadi terpojok. Dicap tidak berhasil, bodoh. Sekolahnya itu menanggung 'dosa'. Kepala sekolah, guru, dan karyawannya juga kecipratan...'dosa'...wah-wah...
3. Di akhir semester, ada baiknya siswa kelas XII didata secara pasti menjadi 3 kelompok. Yaitu : 1) kelompok yang akan melanjutkan ke PT, 2) kelompok yang mau kerja dulu baru kuliah, dan 3) kelompok yang mau nikah dulu, bekerja lalu kuliah. Terhadap tiga kelompok ini sekolah memberikan perlakuan yang berbeda. Selama 4 - 5 bulan masih lumayan cukup untuk mempersiapkan mereka belajar materi-materi UMPT bagi yang mau kuliah. Bagi yang mau kerja, kita siapkan keterampilan yang berhubungan dengan cara=cara memperoleh pekerjaan spt: membuat surat lamaran, trik wawancara, tes skolastik, dll. Kita bekali mereka dengan keterampilan vokasional melalui kursus singkat : fotografi, sablon, jahit, batik sebagai modal wirausaha. Yang mau nikah dulu? Ya kita ajarkan mereka bagaimana mengelola rumah tangga dengan baik, mendidik anak, berwirausaha di rumah, dll
Jadi?
Kesimpulannya....kita cuma perlu nilai lulus untuk bisa lolos UN, nggak perlu target terlalu tinggi. Akan sedih rasanya ketika kita bisa meluluskan siswa kita dengan nilai 9 - 10, tetapi menemukan mereka meratapi hari-harinya dengan berpangku tangan karena kuliah tidak, bekerja tidak, cari pendamping pun susah!
Bukankah ini baru permulaan di tahun 2010?