Oleh : Drs Gami Sukarjo, M.Pd
Pro kontra pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) hampir selalu terjadi pada tiap pertengahan tahun pembelajaran. Tahun ini perdebatan itu semakin seru dengan ditolaknya kasasi yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional oleh MA. Artinya Depdiknas tidak boleh lagi menyelenggarakan Unas.
Penolakan kasasi oleh MA ini tentu saja disambut suka cita oleh mereka yang menolak pelaksanaan Unas. Sebaliknya, putusan MA juga ditanggapi dengan keprihatinan oleh mereka yang menilai bahwa Unas harus terus dilaksanakan. Sebab dibalik kekurangannya, Unas tetap mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Uniknya, kedua pihak memiliki argumen yang sama-sama kuat untuk menolak atau menyetujui pelaksanaan Unas. Tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu pihak, namun memberikan alternatif solusi bagaimana seharusnya menyikapi pelaksanaan Unas.
Sebagai seorang pendidik, penulis sangat setuju bahwa ujian merupakan terminal akhir untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Tak dapat dipungkiri pula bahwa ujian nasional dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional. Namun senyatanya tidak semua peserta didik dapat memetik manfaat secara langsung dari pelaksanaan Unas. Menggunakan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang ditempuhnya, justru menimbulkan gejolak di masyarakat khususnya orang tua maupun peserta didik yang dinyatakan tidak lulus.
Berdasarkan hal itulah penulis menggagas Unas sebagai sebuah pilihan bagi peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik boleh memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Kedua pilihan itu mempunyai resiko dan konsekuensi yang berbeda, baik bagi peserta didik sendiri, satuan pendidikan, maupun institusi di atasnya.
Menawarkan Unas sebagai sebuah pilihan sesungguhnya bukan hal yang baru. Jika menengok saudara-saudara kita yang berada di lembaga-lembaga pendidikan keterampilan (kursus) di bawah naungan Pendidikan Non Formal (dulu PLS) telah menjadikan Unas sebagai sebuah pilihan. Jika warga belajar (baca: peserta didik) menghendaki keterampilannya diakui secara nasional, maka wajib baginya lulus ujian nasional (kini disebut sertifikasi kompetensi). Jika pengakuan secara nasional dianggap tidak signifikan dengan jenis pekerjaan atau jenjang pendidikan lanjutan yang akan ditempuh, maka warga belajar tak perlu repot-repot mengikuti Ujian Sertifikasi Kompetensi atau Ujian Nasional.
Dengan menganalogikan model ujian yang dilakukan oleh PNF, maka peserta didik dapat memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Hal ini sebenarnya sejalan dengan Permendiknas No. 75 tahun 2009 Tentang Ujian Nasional, khususnya Pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa mengikuti Unas adalah hak peserta didik. Jadi ikut Unas atau tidak merupakan hak. Bukan merupakan kewajiban bagi peserta didik! Unas menjadi wajib bagi peserta didik karena para pengambil kebijakan menetapkan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan.
Jika kita mengacu pada Pasal 3 (c) dinyatakan bahwa hasil Unas merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Diperjelas dengan Pasal 20 ayat 1 yang menyatakan dengan gamblang bahwa hasil Unas hanya untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menemuh Unas itu sendiri dan bukan kelulusan peserta didik pada satuan pendidikan yang ditempuhnya. Perhatikan kutipan Pasal 20 ayat 1 berikut: Peserta UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya; b) khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Harus diakui bahwa menetapkan Unas sebagai sebuah pilihan cenderung akan ditinggalkan oleh peserta didik. Sehingga boleh jadi pemerintah akan semakin kesulitan meningkatkan serta memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Saat itulah institusi pendidikan seperti sekolah/perguruan tinggi dan dinas pendidikan membuat regulasi agar peserta didik tetap termotivasi untuk mengikuti Unas.
Beberapa kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya, Pertama, sistem seleksi penerimaan peserta didik baru di jenjang SMP, SMA/K, (termasuk Perguruan Tinggi) menggunakan nilai Unas. Sistem pemeringkatan mengacu pada dua hal yaitu memenuhi kriteria kelulusan Unas serta peringkat nilai calon peserta didik yang mendaftar. Proses seleksi yang demikian akan mendorong peserta didik memilih mengikuti Unas. Peserta didik yang tidak mengikuti Unas akan mengalami kendala dalam melanjutkan studi. Dengan demikian peserta didik akan merasakan bahwa Unas merupakan kebutuhan dan bukan lagi sebagai beban.
Kedua, pemeringkatan kualitas sekolah berdasarkan prosentase peserta didik yang berhasil menempuh Unas serta rata-rata kenaikan nilai Unas peserta didik pada sekolah tersebut. Selama ini pemeringkatan kualitas sekolah ditentukan oleh rata-rata nilai Unas yang dihasilkan oleh peserta didik pada satuan pendidikan tanpa memperhatikan perbedaan inputnya. Sehingga dapat ditebak peringkat kualitas sekolah hanya berkisar pada sekolah-sekolah favorit yang secara faktual inputnya lebih bagus. Model penentuan peringkat sekolah yang demikian menisbikan kegigihan usaha peserta didik, guru, maupun kepala sekolah terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya.
Ketiga, Pembinaan dan pemberian bantuan dana BOS/grant hanya ditujukan pada sekolah-sekolah yang secara nyata mampu mendorong peserta didiknya untuk mengikuti Unas. Selama ini dana BOS diberikan pada seluruh peserta didik sehingga dinilai pemborosan dan kurang mendidik masyarakat untuk lebih menghargai pendidikan, serta melemahkan semangat belajar siswa.
Keempat, penentuan kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah berdasarkan rata-rata nilai raport yang digabung dengan nilai ujian sekolah/nasional. Cara penentuan kelulusan seperti ini memang rentan manipulasi. Namun jika institusi pendidikan konsisten untuk tetap menggunakan syarat lulus Unas serta pemeringkatan nilai Unas dalam seleksi penerimaan peserta didik baru, besar kemungkinan praktik pengatrolan nilai sebagaimana yang pernah terjadi hanya akan bermakna bagi peserta didik yang tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Jadi, ada baiknya peserta didik dan masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih mengikuti Unas atau tidak. Jika Unas telah menjadi pilihannya, maka siswa akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi Unas, termasuk mempersiapkan mental jika ternyata dinyatakan tidak lulus Unas. Dengan demikian, rasanya tahun-tahun mendatang tak akan terdengar lagi teriakan histeris dari siswa yang tidak lulus yang menyatakan ”tiga tahun belajar hapus oleh tiga hari ujian nasional” Semoga!
Pro kontra pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) hampir selalu terjadi pada tiap pertengahan tahun pembelajaran. Tahun ini perdebatan itu semakin seru dengan ditolaknya kasasi yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional oleh MA. Artinya Depdiknas tidak boleh lagi menyelenggarakan Unas.
Penolakan kasasi oleh MA ini tentu saja disambut suka cita oleh mereka yang menolak pelaksanaan Unas. Sebaliknya, putusan MA juga ditanggapi dengan keprihatinan oleh mereka yang menilai bahwa Unas harus terus dilaksanakan. Sebab dibalik kekurangannya, Unas tetap mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Uniknya, kedua pihak memiliki argumen yang sama-sama kuat untuk menolak atau menyetujui pelaksanaan Unas. Tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu pihak, namun memberikan alternatif solusi bagaimana seharusnya menyikapi pelaksanaan Unas.
Sebagai seorang pendidik, penulis sangat setuju bahwa ujian merupakan terminal akhir untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Tak dapat dipungkiri pula bahwa ujian nasional dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional. Namun senyatanya tidak semua peserta didik dapat memetik manfaat secara langsung dari pelaksanaan Unas. Menggunakan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang ditempuhnya, justru menimbulkan gejolak di masyarakat khususnya orang tua maupun peserta didik yang dinyatakan tidak lulus.
Berdasarkan hal itulah penulis menggagas Unas sebagai sebuah pilihan bagi peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik boleh memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Kedua pilihan itu mempunyai resiko dan konsekuensi yang berbeda, baik bagi peserta didik sendiri, satuan pendidikan, maupun institusi di atasnya.
Menawarkan Unas sebagai sebuah pilihan sesungguhnya bukan hal yang baru. Jika menengok saudara-saudara kita yang berada di lembaga-lembaga pendidikan keterampilan (kursus) di bawah naungan Pendidikan Non Formal (dulu PLS) telah menjadikan Unas sebagai sebuah pilihan. Jika warga belajar (baca: peserta didik) menghendaki keterampilannya diakui secara nasional, maka wajib baginya lulus ujian nasional (kini disebut sertifikasi kompetensi). Jika pengakuan secara nasional dianggap tidak signifikan dengan jenis pekerjaan atau jenjang pendidikan lanjutan yang akan ditempuh, maka warga belajar tak perlu repot-repot mengikuti Ujian Sertifikasi Kompetensi atau Ujian Nasional.
Dengan menganalogikan model ujian yang dilakukan oleh PNF, maka peserta didik dapat memilih untuk mengikuti Unas atau tidak. Hal ini sebenarnya sejalan dengan Permendiknas No. 75 tahun 2009 Tentang Ujian Nasional, khususnya Pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa mengikuti Unas adalah hak peserta didik. Jadi ikut Unas atau tidak merupakan hak. Bukan merupakan kewajiban bagi peserta didik! Unas menjadi wajib bagi peserta didik karena para pengambil kebijakan menetapkan hasil Unas sebagai salah satu penentu kelulusan.
Jika kita mengacu pada Pasal 3 (c) dinyatakan bahwa hasil Unas merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Diperjelas dengan Pasal 20 ayat 1 yang menyatakan dengan gamblang bahwa hasil Unas hanya untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menemuh Unas itu sendiri dan bukan kelulusan peserta didik pada satuan pendidikan yang ditempuhnya. Perhatikan kutipan Pasal 20 ayat 1 berikut: Peserta UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya; b) khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Harus diakui bahwa menetapkan Unas sebagai sebuah pilihan cenderung akan ditinggalkan oleh peserta didik. Sehingga boleh jadi pemerintah akan semakin kesulitan meningkatkan serta memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Saat itulah institusi pendidikan seperti sekolah/perguruan tinggi dan dinas pendidikan membuat regulasi agar peserta didik tetap termotivasi untuk mengikuti Unas.
Beberapa kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya, Pertama, sistem seleksi penerimaan peserta didik baru di jenjang SMP, SMA/K, (termasuk Perguruan Tinggi) menggunakan nilai Unas. Sistem pemeringkatan mengacu pada dua hal yaitu memenuhi kriteria kelulusan Unas serta peringkat nilai calon peserta didik yang mendaftar. Proses seleksi yang demikian akan mendorong peserta didik memilih mengikuti Unas. Peserta didik yang tidak mengikuti Unas akan mengalami kendala dalam melanjutkan studi. Dengan demikian peserta didik akan merasakan bahwa Unas merupakan kebutuhan dan bukan lagi sebagai beban.
Kedua, pemeringkatan kualitas sekolah berdasarkan prosentase peserta didik yang berhasil menempuh Unas serta rata-rata kenaikan nilai Unas peserta didik pada sekolah tersebut. Selama ini pemeringkatan kualitas sekolah ditentukan oleh rata-rata nilai Unas yang dihasilkan oleh peserta didik pada satuan pendidikan tanpa memperhatikan perbedaan inputnya. Sehingga dapat ditebak peringkat kualitas sekolah hanya berkisar pada sekolah-sekolah favorit yang secara faktual inputnya lebih bagus. Model penentuan peringkat sekolah yang demikian menisbikan kegigihan usaha peserta didik, guru, maupun kepala sekolah terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya.
Ketiga, Pembinaan dan pemberian bantuan dana BOS/grant hanya ditujukan pada sekolah-sekolah yang secara nyata mampu mendorong peserta didiknya untuk mengikuti Unas. Selama ini dana BOS diberikan pada seluruh peserta didik sehingga dinilai pemborosan dan kurang mendidik masyarakat untuk lebih menghargai pendidikan, serta melemahkan semangat belajar siswa.
Keempat, penentuan kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah berdasarkan rata-rata nilai raport yang digabung dengan nilai ujian sekolah/nasional. Cara penentuan kelulusan seperti ini memang rentan manipulasi. Namun jika institusi pendidikan konsisten untuk tetap menggunakan syarat lulus Unas serta pemeringkatan nilai Unas dalam seleksi penerimaan peserta didik baru, besar kemungkinan praktik pengatrolan nilai sebagaimana yang pernah terjadi hanya akan bermakna bagi peserta didik yang tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Jadi, ada baiknya peserta didik dan masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih mengikuti Unas atau tidak. Jika Unas telah menjadi pilihannya, maka siswa akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi Unas, termasuk mempersiapkan mental jika ternyata dinyatakan tidak lulus Unas. Dengan demikian, rasanya tahun-tahun mendatang tak akan terdengar lagi teriakan histeris dari siswa yang tidak lulus yang menyatakan ”tiga tahun belajar hapus oleh tiga hari ujian nasional” Semoga!